Yellow! Terima kasih karena kalian mau sabar menunggu daku, ya. Duh, sudah berapa kali coba aku ngucap ‘terima kasih’? Tapi kok rasanya nggak cukup sama sekali buat mengungkapkan betapa berterima kasihnya aku sama kalian. Hmm.. Anyway, AIY ini nggak akan makan banyak chapter, karena aku nggak pengin bikin kalian bosan dengan cerita yang diulur-ulur. Dan aku masih punya cerbung lain yang ALHAMDULILLAH sudah jalan dari lama, jadi kalaupun aku cerbung itu aku post, jedanya nggak jauh-jauh macam AIY ini. Muihihi. Jadi ke depannya walaupun AIY selesai, akan ada cerbung lain yang aku post di sini, just in case kalian masih mau mampir.
Sip, sekali lagi terima kasih dan selamat baca! *peyuk atu-atu*
“Well, katakan sesuatu, Eric.”
Eric menelan ludah dan memandang wajah khawatir Lisa. Menghembuskan napas panjang, Eric mengusap rambut Lisa perlahan, merasakan halus rambut hitam itu di telapak tangannya. “Kau mau aku mengatakan apa, cantik?”
“Entahlah. Yang kau rasakan sekarang? Yang kau rasakan padaku?”
Eric tahu cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi. Lisa yang masih muda, masih sangat mudah untuk merasa bimbang. Apalagi kalau dihadapkan dengan masalah seperti ini, orang ketiga.
“Tidak ada yang kurasakan, Lisa, aku tidak khawatir karena aku percaya padamu. Aku sangat menyukaimu,” mencintaimu malah, tambah Eric dalam hati. “Aku hanya marah karena dia membuatmu ketakutan. Aku terus saja membayangkan kalau saja aku tidak datang tepat waktu, kau pasti akan terluka. Dan tentu saja, aku tidak suka melihat bocah itu menyentuhmu.”
Lisa menyandarkan kepalanya di dada Eric dan Eric terus mengusap pelan kepalanya. Eric bisa merasakan tubuh Lisa berguncang pelan, mengeluarkan isak yang nyaris tak terdengar.
Pandangan Eric menerawang dan jantungnya berdegup kencang. Ada rasa sakit di dadanya. “Tapi sekarang yang aku ingin tahu, bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Apa kau.. menyukai bocah itu?”
Sontak kepala Lisa terangkat dari dada Eric. Mata gadis itu membelalak, memandang Eric dengan tidak percaya. Garis air mata tercetak di pipinya. Lisa berbisik, “Apa?”
“Apa kau menyukai Greg? Kau ingin bersamanya?”
Lisa menjauh dan duduk di sisi lain sofanya. Tubuhnya tidak bersentuhan dengan tubuh Eric. “Tidak. Aku tidak mau bersama Greg. Aku hanya mau bersamamu, Eric. Bukan dia. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
Eric terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Karena dengannya kau bisa bahagia, karena kau tidak perlu berbohong setiap saat, Lis. Dengannya kau tidak perlu bersembunyi, takut akan ketahuan orang lain. Dengannya kau..” belum sempat Eric menyelesaikan kalimatnya, Lisa berdiri dan menatap Eric dengan pilu.
“Aku mau bersamamu, Eric. Aku tidak peduli kalau aku harus berbohong, bersembunyi atau lari ke sana ke mari. Aku menyukaimu. Kau! Bukan Greg! Ya tuhan.” Lisa mengangkat kedua tangannya dengan tidak percaya. “Aku tahu sejak awal kalau hubungan kita akan sedikit susah untuk dijalani, tapi aku tidak pernah khawatir. Karena aku tahu kau akan selalu bersamaku, menemaniku, mendukungku.”
Eric diam dan menatap Lisa dengan lemah. “Lis..”
“Diam, aku belum selesai bicara. Aku sangat menyukaimu dan tidak hanya kau saja. Aku menyukai keluargamu. Aku memang sempat ragu dengan hubungan kita, tapi,” Lisa menarik napas panjang. “tidak lagi. Aku tidak ragu lagi. Denganmu atau hubungan kita. Greg, aku tidak menyukai Greg seperti itu, aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Jadi Eric, jangan pernah bilang kalau dengan Greg aku bisa bahagia. Jangan lagi. Karena aku bisa bahagia hanya denganmu saja.” Air mata Lisa mengalir tanpa henti dan Lisa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Perlahan Eric berdiri dan memeluk Lisa erat-erat. Dia menenggelamkan wajahnya di rambut Lisa, menghirup dalam-dalam wangi khas gadis kesayangannya itu. Isak tangis Lisa kini terdengar dengan jelas, membuat dada Eric nyeri. Apalagi saat dia tahu bahwa yang menyebabkan tangis lisa kali ini adalah dirinya.
“Sssh, Lisa, jangan menangis. Maafkan aku, aku mohon jangan menangis lagi.”
“Aku.. tidak.. menyukai Greg.. Eric,” ujar Lisa pelan di sela tangisnya. “maaf.. kan.. aku.”
“Aku yang minta maaf, sayang. Sudah, jangan menangis lagi.” Eric mengangkat Lisa, mengaitkan kedua paha gadis itu di pinggangnya dan membawa Lisa ke ranjang.
Berbaring berdampingan, wajah Lisa masih tersembunyi di dada Eric. Mengusap punggung Lisa perlahan, Eric terus saja menggumamkan kata-kata yang menenangkan sambil sesekali mengecup puncak kepala Lisa.
Sesaat kemudian, tangis Lisa sudah lama berhenti dan digantikan dengan tarikan napas yang tenang dan stabil. Lisa sudah jatuh tertidur di pelukan Eric. Eric terdiam, memandang tembok di hadapannya, memikirkan kembali ucapan Lisa sebelumnya. Lisa menyukaiku, bukan Greg. Dia tidak menyukai Greg seoerti dia menyukaiku. Tersenyum kecil, dia memeluk Lisa lebih erat dan memejamkan mata.
“Eric?” bisik Lisa.
Eric kembali membuka mata, telapak tangannya mengusap punggung Lisa dengan lembut. “Aku membangunkanmu, sayang?”
Lisa menggeleng. “Itu semua salahku.”
“Apa?”
“Greg seperti itu karena salahku.”
Eric terdiam, menunggu Lisa melanjutkan.
“Aku tahu kalau dia menyukaiku.” Lisa diam sejenak, suaranya teredam oleh dada Eric. “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menolaknya.”
Eric menarik napas panjang. “Sudah, kita bicarakan besok pagi saja, ya. Tidurlah.”
Karena aku tidak mau membayangkan bocah sial itu saat memelukmu, Lis.
***
Sejak hari itu, hubungan Lisa dan Eric terasa janggal. Mereka masih menghabiskan waktu bersama, tapi Eric tidak banyak bicara. Sementara Lisa, melihat Eric yang menjauh, merasa tidak enak dan takut untuk bertanya. Lisa memperhatikan Eric di kelas namun tak sekalipun Eric memandang ke arahnya. Saat bersama, sikap Eric juga berbeda dari biasa dan itu membuat hati Lisa semakin ciut.
Apa Eric marah? Lisa menarik napas panjang. Di sela-sela istirahat, Jessica yang melihat Lisa belakangan ini tampak muram sehingga tidak pernah sekalipun meninggalkan sisinya, sibuk menawari Lisa sandwich dan jus. Lisa hanya menggeleng dan tersenyum lemah.
“Kau harus makan, Lis. Kau lesu sekali.” Ujar Jess pelan.
Lisa hanya tersenyum dan menjawab, “Iya, nanti saja.”
Jessica menarik napas panjang dan meletakkan sandwich dan jus di meja. “Kejadian hari itu jangan kau pikirkan terus. Aku yakin Greg tidak bermaksud melakukan itu. Beri dia kesempatan untuk menjelaskan, Lis.”
Greg memang tidak berhenti mendatangi kelas Lisa, meskipun Lisa menolak untuk bertemu. Namun pemuda itu tidak menyerah dan menghubungi ponsel Lisa terus menerus. Sebenarnya Lisa tidak ingin menyembunyikan hal itu dari Eric, tapi melihat Eric yang tampak dingin, Lisa enggan bercerita.
“Lis?” Jess menyentuh pundak Lisa.
“Aku bukan memikirkan Greg, J. Aku..”
“Ini tentang Pak Levy, ya?”
Sontak Lisa memandang Jessica. Napasnya tercekat dan jantungnya berdegup kencang, namun Lisa berusaha memasang wajah tanpa ekspresi. “Maksudmu apa?”
“Tidak usah menutupinya lagi, Lis.” Jessica membuang napas panjang. “Aku tahu kalau kau ada hubungan khusus dengan Pak Levy. Dia kekasihmu, kan?”
Mata Lisa terbelalak dan Lisa sudah tidak mampu lagi menahan ekspresi kaget di wajahnya. “Jess.. bagaimana..”
“Saat menolongmu waktu itu, aku melihat Pak Levy tampak tidak biasa. Begitu juga dirimu. Kalian tampak, entahlah, intimate. Seperti punya bahasa sendiri untuk berkomunikasi. Jadi aku menarik kesimpulan sendiri. Memang benar, ya? Pak Levy kekasihmu?”
Lisa menelan ludah dan menutup mata, lalu mengangguk pelan.
Jess merangkul Lisa. “Kenapa kau tidak bercerita padaku dari awal, sayang? Kalau aku tahu kau dan Pak Levy berpacaran, aku tidak akan memaksamu jalan dengan Greg. Maafkan aku, ya.”
Jessica tidak tahu apa-apa, batin Lisa. Harusnya aku yang tahu batas dan menolak Greg dari awal. Aku yang salah. Dan kini Lisa tidak tahu harus melakukan apa, apalagi yang terluka bukan hanya Greg, tapi Eric juga.
“Tidak apa-apa, Jess. Maafkan aku juga karena tidak memberi tahumu sejak awal.”
“Jadi.. sudah berapa lama kalian pacaran?”
Tersenyum kecil, Lisa menjawab. “Hampir enam bulan.”
Tarikan napas panjang Jess terdengar di telinga Lisa, membuat senyumnya makin lebar.
“Oh. Lalu, bagaimana pendapat Eric tentang kejadian kemarin?”
Senyum Lisa meredup. “Itu dia. Sejak hari itu, dia menjauh. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Belum lagi Greg yang terus-menerus menghubungiku.” Tertawa pahit, Lisa menambahkan. “Ya ampun, aku terdengar egois, ya?”
Jess merangkul Lisa makin erat, saling berbagi kehangatan. “Lisa, apa menurutmu kau jelaskan kepada Greg, kau tahu, tentang kondisimu dengan Pak Levy? Dengan begitu siapa tahu dia mengerti dan menjauhimu.”
Lisa menggeleng sedih, tidak berani membayangkan apa yang terjadi kalau Greg tahu tentang hubungannya dengan Eric. “Aku tidak mau. Kalau hubungan kami sampai diketahui orang banyak, mereka akan berpikir buruk tentang Eric. Aku tidak ingin Eric mendapat masalah. Aku sangat menyayanginya, Jess.”
Mendengar sahabatnya itu memanggil Pak Levy dengan nama depan, membuat Jess tersenyum.
“Orang-orang akan berasumsi kalau aku mendekati Eric hanya karena aku ingin mendapat nilai bagus,” tambah Lisa. “Aku tidak akan pernah meminta Eric untuk membuat nilaiku bagus, Jess. Kau percaya padaku, kan?”
“Tentu saja. Aku tahu kalau kau berusaha keras dengan nilai-nilaimu. Kau bahkan tidak pernah mencontek sama sekali, for God’s sake!”
Lisa tertawa pelan, namun tawa itu kembali memudar. “Tapi orang lain belum tentu berpikiran begitu. Mereka pasti akan bergosip, dan..”
“Apa menurutmu Greg akan bercerita pada orang lain kalau kau memberitahu tentang hubunganmu? Menurutmu Greg adalah orang yang suka membocorkan rahasia orang lain?” sela Jessica.
Lisa terdiam. Greg memang pemuda yang ceria dan sedikit bengal, tapi dia baik dan sopan kepada Lisa. Kecuali hari naas itu, tentu saja. Tapi selebihnya, dia selalu memperlakukan Lisa dengan baik.
“Lagipula,” tambah Jessica. “kalau kau jelaskan keadaannya dengan Greg, pasti dia mau mengerti. Aku yakin. Jangan memendam ini sendiri, Lis. Lama-lama kau bisa meledak. Dengan Eric juga, kalau dia menjauh kau jangan ikut menjauh. Dekati dia dan ajak bicara. ya?”
Memandang sahabat cantiknya itu, hati Lisa terasa hangat. Lisa menatap mata Jess dalam-dalam. “Terima kasih, Jess. Really, I mean it. Kau adalah sahabatku yang paling baik.”
Jessica balas menatap Lisa dan tersenyum manis. Sambil menyibakkan rambut panjangnya, Jess mendengus. “Sudah pasti aku yang terbaik. Tidak ada yang bisa mengalahkan si cantik Jessie!”
Lisa tertawa dan balas merangkul Jess. Mendadak beban yang dari lama berada di pundaknya terasa lebih ringan setelah berkata jujur pada Jessica. Paling tidak kini aku punya teman berbagi, ujarnya dalam hati.
“Jadi, bagaimana rasanya dicium Pak Levy?”
***
Ini sudah keempat kalinya Lisa menelepon Eric dan masih saja tidak ada jawaban. Lisa sudah menunggu selama dua jam di flat-nya. Hari ini adalah hari menonton, di mana Eric akan datang ke flat Lisa, membawa makanan kecil sementara Lisa menyiapkan beberapa keping DVD untuk ditonton bersama. Film sudah siap, namun Eric tidak kunjung datang. Malam ini Lisa berniat untuk berbicara dengan Eric tentang semuanya. Tentang Greg yang memaksa bertemu, tentang Jessica yang sudah tahu semua dan tentang perasaannya.
Tapi Eric, kau ke mana?
Kali ke lima Lisa menelepon, masih saja tidak ada jawaban dari Eric. Kekasihnya bahkan tidak mengirim pesan singkat. Kalau Eric tidak bisa datang, harusnya dia mengirim pesan singkat, kan? Biasanya juga seperti itu. Lisa menarik napas panjang dan membereskan DVD yang berserakan, memasukkannya kembali ke kotaknya, bersiap untuk tidur.
Mendadak ponselnya berdering, tanda pesan singkat yang masuk.
Maaf aku tidak bisa ke sana. Ada urusan mendadak.
Lisa mengernyit dan membalas dengan cepat.
Kau di mana, Eric? Di kampus?
Tidak ada balasan lagi. Lisa menunggu dan saat balasan dari Eric tak kunjung datang, dia mengirim ulang pesan yang sama. Namun tetap saja tak ada balasan. Lisa pergi tidur dengan ponsel dalam genggaman dan hati yang gundah.
***
Eric memandang ponselnya dengan muram dan diminumnya lagi minuman yang membuatnya memicingkan mata tiap kali menelan. Sudah lama dia tidak minum. Tapi belakangan ini minuman itu seakan jadi sahabatnya. Tidak banyak, hanya satu gelas satu hari. Tapi rasanya satu gelas tak lagi cukup.
Eric tidak tahu harus berbuat apa. Bayangan akan wajah Lisa yang menangis seakan tak mau hilang dari ingatannya. Setelah hari itu, bersama-sama dengan Lisa kadang terasa menyesakkan. Apakah bersama dengan orang yang kau sayangi memang terasa seperti ini?
Apakah mencintai seseorang sepatutnya terasa seperti ini?
Kini Eric seperti mati rasa. Eric sama sekali tidak menyalahkan Lisa karena tidak bisa menolak Greg. Lisa adalah gadis lugu yang nyaris tidak berani bersuara, apalagi di depan anak laki-laki. Hanya kepada Eric Lisa membuka diri dan Eric sangat bangga. Tapi Eric seperti tersentak saat melihat wajah Lisa yang berkerut penuh kesedihan. Dia tidak mau lagi melihat air mata Lisa.Lisa menyukai Eric dan bukan orang lain, Eric tahu itu. Tapi Eric tetap saja tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya. Kalau saja dia bukan dosen Lisa, kalau saja Lisa bukan muridnya, pasti keadaan tidak akan serumit ini dan Lisa tidak perlu setiap saat bersembunyi. Bocah sial itu tidak akan mendekati Lisa kalau dia tahu Eric adalah kekasih Lisa dan Lisa tidak akan ketakutan seperti itu.
Diteguknya sekali lagi minuman jahat itu dan Eric merasa kepalanya menjadi ringan.
Aku tidak mau terjerat cinta lagi, batinnya. Satu kali saja sudah cukup
Tapi wajah Lisa tak mau hilang dari kepalanya. Wangi rambut Lisa yang lembut dan kulitnya yang hangat seperti matahari tropis negara asalnya, Eric sudah kecanduan. Hampir setiap malam menghabiskan waktu bersama, membuat Lisa bagaikan bagian dari dirinya. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam diri Lisa yang tidak ada di gadis lain yang membuat Eric jatuh cinta.
Cinta. Seperti dengan Bethany.
Eric memejamkan mata, enggan mengingat masa lalunya.
***
Eric semakin jarang menghubungi Lisa dan Lisa mulai khawatir. Dirinya masih bertemu Eric di kampus, tapi Eric hanya memberi sapaan sopan, tanpa pandangan mata yang berarti. Berkali-kali Lisa meminta Eric datang ke flat-nya namun berkali-kali itu pula Eric tidak bisa datang. Entah karena ada pekerjaan atau urusan keluarga yang mendadak. Lisa sampai memberanikan diri untuk menghubungi Heidi.
“Tidak apa-apa kok, Lissie. Aku dan anak-anak baik saja. Ada apa? Bagaimana kabarmu dan Eric, masih penuh cinta seperti biasa?” Lisa bisa mendengar tawa dalam suara Heidi.
Lisa tersenyum kecut dan menjawab dengan berusaha menampakkan suara yang ceria. Heidi tidak tahu pa yang terjadi, itu artinya Eric tidak bercerita kepadanya. Heidi juga memberi tahu kalau Eric sudah lama tidak mengunjungi mereka.
Apa Eric menghindariku?
Tenggelam dalam pikirannya, Lisa mendengar pintu flat-nya yang diketuk. Eric! Lisa berlari dengan sekuat tenaga dan membuka pintu dengan napas terengah-engah.
“Eri..”
“Hei, Lis.”
Napas Lisa tercekat. “Greg? Sedang apa kau di sini?”
Sist, kayaknya kmren aq baru baca ampek bab 8 dech, kok udah bab 11 skrg?? Ok baca ahhhhhhh
Thanks ya :)
Bahahahaha, monggo dibaca, kakaaaak. ;)
Lanjut *.* penasaran :'( bangetttt…
Ch. 12 sudah otw, kok. Ditunggu, yak! *peluk*
Nah, si eric ini ya, aneh banget. Perasaannya napa jd plin plan gitu. Aduh! Kasihan lisa kan?
Lanjut dong!
sist, nggak sabar chap 12 jgn lama2 yah :)
Hai sist..salam kenal. I’m a new reader of u. This story is so cool. Gak sabar nunggu lanjutannya..cepet donk diposting
Hai, Weni! Salam kenal juga. Makasih udah mau meluangkan waktu buat baca cerbung ini, ya. I really appreciate it! Beneran.
Sip, Insya Allah nggak akan lama-lama lagi post-nya. Muihihihi. *peluuukkk*
Non,,ntr kelanjutanya jangan kelamaan ya!!..klo kelamaan bisa2 ni jerawat ngga ilang2 hehehe..semangattt sistahh
Bahaha, nggak akan kelamaan, kok. Janji, deh. *nungging*
Makin sukaaaaa…ayo sist yang semangat nulisnya gaspoooollll hehehehe….
Erik bikin kesal.
Knp gak gentel sih, ga brani blg cinta, ga mau berjuang.
Kasian kan lisa pny pacar tp jablay. Jarang belay rambut hahaha
update soonn… please hehe :D ayo next next next hehe
pastinya diriku akan selalu mampir kesini, ya walaupun dirimu ga jual jajanan *dikira ini warung* *dijitak author*
ga sabar buat baca cerita yg lainnya, tp mas eric ttp nmr satu ko di hatikuuu
hahahaha *kabuuuuur
Terima kasih banyak ya, Novia! Alu terharu sekali! *kecups* *jilat-jilat*
Insya Allah kamu nggak akan naksir sama Eric aja, tapi sama yang lain juga. Amin! Doakan aku nggak males ya, jadi cerbungnya baru lagi. Muihihi.
Sekali lagi, terima kasih! I really appreciate it. ;)
Mana lanjutannya say :'( kangen sama cerita kamu ;(
Kyahaha, hang on a minute ya, Dinda Manis! Aku mau nyelesaiin ch. 13 dulu baru post yang 12. Biar langsung cespleng gitulo. :))))
Sebentar lagih!
where are u dear? eric eric ericaaaaaaaa tiddak rhoma ,, nah lho slh lapak? wkwkwkwk,, sist mane lanjutannya hadoh rasa pnsaranku udah mmbuncah nih di dada sampe ku titip di dada2 ttga ,, hihihihi
Dada tetangga?! *ngakak kentut-kentut*