Hahahaha, iya iya, nanti update-nya bakal lebih cepet, deh. Santai. Jangan serbu aku, pweeease. :)))
Anyway, sekali lagi terima kasih buat komentar-komentar kalian, ya. Seneng banget deh kalo banyak yang baca gini. Rasanya jadi semangat buat nulis terus, walaupun ya masih pas-pasan. Kalau ada saran, kritik atau ide cerita, jangan males buat kasih tahu, lo. Belakangan aku agak ragu sama jalan cerita AIY ini, karena makin ke sini kok auranya makin beda dari apa yang aku bayangin (malah kalo boleh jujur, aku nggak nyangka cerita Lisa dan Eric ini bakal jalan sejauh ini). Tapi aku berusaha bikin se’normal’ dan sesantai mungkin tapi tanpa meninggalkan tema utamanya: Romance. Semoga kalian masih mau baca dan sabar sampai akhir, ya. YOU GUYS ARE AWESUM I ADORE ALL O’ Y’ALL!
“Ini makan dulu,” ujar Jess pelan sambil menyodorkan semangkuk sup ayam yang masih mengepul. Lisa mengambil segelas air dan duduk bersila di lantai berkarpet flat-nya. “Mumpung masih panas, Lis.”
“Aku belum sesakit itu, tahu. Baru sakit tenggorokan saja sudah dibelikan sup ayam. Bagaimana kalau nanti aku sakit yang lebih parah?” gumam Lisa sambil menyesap pelan supnya. Senyum kecil tersungging di bibirnya saat melihat Jess.
“Sakit tenggorokan di musim seperti ini bisa sangat menyiksa, kau tahu? Kau harus sehat sebelum kita melancarkan serangan,” ujar Jessica.
“Serangan?”
“Iya, untuk membalas Eric.”
Sendok berhenti di tengah jalan menuju mulut Lisa. Memandang sahabatnya dengan bingung, Lisa bertanya. “Sejak kapan kita punya rencana untuk melakukan ‘serangan’, Jess?”
Jess menarik napas panjang dan duduk bersila di sofa, matanya memancarkan keyakinan. “Sejak kemarin. Aku sudah memikirkan ini masak-masak, Lis. Kalau Pak Levy, maksudku Eric, tidak mau bertemu atau berbicara padamu lagi, paling tidak dia harus memberikanmu penjelasan baru setelah itu dia menjauh, kan? Bukan seperti ini?”
“Iya, tapi mungkin dia punya alasan..”
“Tidak bisa, Lis. Dia tidak gentleman jika memperlakukanmu seperti ini. Mendiamkanmu, tidak meneleponmu sama sekali dan susah untuk ditemui. Bukankah dia membingungkan? Kita harus membalasnya.” Jess menjelaskan dengan berapi-api.
Lisa mengerutkan dahi. Supnya terlupakan di atas meja. “Jess, kurasa itu bukan ide yang baik. Membalas Eric? Sungguh, sepertinya tidak..”
“Kau terlalu memikirkan perasaannya, Lis,” potong Jessica. “Coba kau pikir, apa dia memikirkan perasaanmu?”
Mungkin tidak, batin Lisa. Sakit di hatinya yang sedikit memudar karena perbincangan singkat dengan ibunya tadi kembali lagi. Wajah Eric kembali menghantui pikirannya. “Lalu menurutmu aku harus apa, Jess?”
“Kita buat dia cemburu.”
Lisa tertawa mendengar saran sahabatnya itu. Dia sama sekali tidak kenal Eric. Jess yang melihat Lisa tertawa balik mengerutkan dahi dan bertanya. “Kenapa kau tertawa?”
“Percaya padaku, membuat Eric cemburu malah akan memperburuk keadaan,” ujar Lisa dengan senyum sedih. “Semua ini bermula dari Eric yang melihatku berbicara dengan Greg, ingat? Kenapa menurutmu membuat Eric makin cemburu akan memperbaiki keadaan, sayang?”
Jessica menghembuskan napas dengan putus asa. “Well, di buku-buku cemburu selalu memaksa Hero-nya berbuat sesuatu, kan? Siapa tahu..”
Lisa tertawa pelan. “Aku kira kau tidak suka membaca novel-novel romantis, Jess?”
Wajah Jessica mendadak bersemu dan tangannya sibuk memainkan remote televisi. “Ternyata buku-buku itu bagus.”
Tertawa lagi, Lisa mendorong lutut Jess. “Kau mau pinjam koleksiku?”
“Ugh, shut up. Tapi sungguh Lis, menurutmu rencanaku tidak bagus?”
Lisa menggeleng dan tersenyum lembut. “Terima kasih karena sudah susah-payah memberi ide, Jess, tapi biarlah masalah ini kuselesaikan sendiri.”
“Aku hanya tidak suka melihatmu seperti ini, Lisa,” Jess mengusap pelan rambut Lisa.
“Terima kasih. Aku beruntung mempunyai sahabat sepertimu. Nanti kalau kau sudah punya pacar dan siap mempraktekkan hal-hal yang ada di buku-buku romantis, jangan tinggalkan aku, lo,” ujar Lisa dengan menaikkan alis.
Semburat merah muda merambat di pipi dan dahi Jessica dan dengan tangkas, bantal di sofa melayang ke wajah Lisa.
***
Entah sudah berapa lama Eric tidak menghubungi Lisa. Dua minggu? Tiga? Atau bahkan lebih? Entahlah, Lisa sudah malas menghitung. Heidi barusan meneleponnya, menanyakan apakah dia akan datang untuk merayakan natal bersama. Jangankan merayakan natal bersama Eric dan keluarganya, bertemu Eric pun dirinya tidak bisa. Air mata kemabil terbit di pelupuk matanya.
Berbaring di ranjangnya, waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam namun Lisa tidak bisa tidur. Diam-diam dirinya berharap Eric sudah dalam perjalanan menuju flat-nya, dengan senyum tampannya yang hangat seperti biasa dan mereka akan menghabiskan malam berpelukan dan Lisa akan merasakan hangat tubuh Eric. Membayangkan wajah Eric selalu membuat air mata Lisa mengalir tanpa henti. Memeluk boneka beruang besar yang dibawanya dari Indonesia, Lisa terisak pelan. Membuat pulau air mata besar di bantalnya. Sudah lama Lisa tidak menangis selama ini. Menangis yang membuat kedua lubang hidungnya tersumbat. Menangis yang membuat kelopak matanya susah terbuka dan terasa bengkak.
Lisa merasa nyaman dengan Eric. Meskipun hubungan mereka hanya berputar di dalam flat Lisa, rumah Eric dan mobil Eric, Lisa tidak merasa berat. Bersama Eric sudah membuat Lisa senang. Eric membuat Lisa merasa lebih, lebih cantik, lebih dewasa, lebih bahagia dan lebih..
Isak Lisa teredam oleh bantal saat kenyataan menyapunya. Lisa mencintai Eric.
Di umurnya ke dua puluh satu, Lisa yakin kalau Eric adalah The One. Karena dengan Eric semua sempurna. Meskipun hingga saat ini Lisa belum pernah berhubungan yang lebih jauh dengan Eric, tapi Lisa tidak pernah merasa kekurangan suatu apapun. Dengan Eric Lisa bisa membayangkan masa depan.
Kelopak matanya terasa berat dan masih dengan air mata yang membasahi pipi dan bantalnya, Lisa tertidur sambil mengingat masa bahagianya dengan Eric.
***
“Eric?”
“Hmm?”
“Aku belum pernah berhubungan seks sebelumnya.”
Lisa duduk bersandar di ranjangnya dengan betis yang berada di pangkuan Eric sementara Eric sendiri asyik memainkan game di ponselnya sambil sesekali mengusap kaki Lisa. Mendengar pernyataan Lisa yang mendadak dan mengejutkan, membuat Eric menoleh dengan cepat sampai dalam hati Lisa khawatir kalau-kalau leher Eric sesaat akan patah. Mata Eric melotot dan ponselnya tergenggam dengan posisi yang aneh.
“Sayang, kenapa kau.. Mendadak.. Apa katamu tadi?” Tanya Eric terbata-bata, yang membuat senyum lebar merekah di bibir Lisa.
“Well, aku belum pernah berhubungan seks sebelumnya. Aku hanya ingin memberi tahu saja,” ujar Lisa masih dengan senyum di wajahnya. “Wajahmu jangan seperti itu, Eric. Seperti melihat hantu saja.” Mendengar ucapannya sendiri, Lisa tertawa.
Eric masih terdiam dan tampak menatap Lisa dengan pandangan yang aneh. Lisa tersadar dan berhenti tertawa, senyum gelinya lenyap dan digantikan dengan dahi yang berkerut.
“Eric?” Eric masih memandang Lisa dengan ekspresi yang tidak bisa Lisa artikan. Dalam hati Lisa menyesal karena sudah mengucapkan sesuatu yang membuat suasana yang tadinya santai dan menyenangkan jadi tidak enak seperti ini. “Maaf, aku salah bicara..”
“Tidak,” potong Eric segera. Meletakkan ponselnya di meja kecil di samping ranjang Lisa, Eric beringsut mendekati Lisa. Membawa tubuh Lisa ke pangkuannya, punggung Lisa menempel di dada Eric. Samar namun kuat, Lisa bisa merasakan detak jantung Eric. “Kau tidak salah bicara, Lis. Aku hanya, bagaimana, ya? Aku hanya kaget kau mendadak membicarakan itu tanpa basa-basi.” Eric tertawa pelan dan tubuh Lisa ikut bergetar seirama dengan tawa Eric.
Lengan Eric memeluk Lisa dan Eric meletakkan dagunya di samping kepala Lisa. “Aku tahu kalau kau belum pernah berhubungan seks sebelumnya.”
Lisa menoleh. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Eric tersenyum dan mengecup lembut dahi Lisa dan kembali menyandarkan dagunya di sisi kepala Lisa. “Anggap saja pria dewasa punya radar khusus yang bisa melihat hal-hal tertentu.”
Lisa mendengus. “Pasti karena aku tidak jago berciuman.”
“Ah, percaya padaku, cantik,” Eric mengeratkan pelukannya. “Kau sangat jago mencium.”
Wajah Lisa bersemu dan telinganya terasa panas. Bersyukur karena Eric tidak melihat wajahnya yang memerah, Lisa bertanya dengan ragu. “Kau tidak marah kan karena aku masih.. Perawan?”
Kali ini giliran Eric yang mendengus. “Kenapa aku harus marah?”
“Karena kebanyakan laki-laki lebih suka gadis yang dipacarinya tidak perawan, karena kalau terjadi ‘kecelakaan’ mereka bisa lari dari masalah.”
“Dan kau tahu itu dari..?”
“Aku banyak membaca,” ujar Lisa yakin.
Tawa Eric kini lebih keras dan Lisa geram mendengarnya. “Berhenti tertawa, Eric!”
Mengusap setitik air mata yang keluar di ujung matanya, Eric mengetuk pelan puncak kepala Lisa. “Kau ini, masih hijau tapi sok tahu.”
Belum sempat Lisa menjawab, Eric berbicara lagi. “Mungkin ada sebagian yang seperti itu, Lis, tapi aku tidak. Aku bangga kau masih mempertahankan kehormatanmu. Itu tandanya kau memang gadis yang baik,” Eric mengecup sisi kepala Lisa. “Sejujurnya? Aku sedikit gugup. Karena aku tidak pernah merayu gadis hijau sepertimu sebelumnya. Ini membuatku merasa bertanggung jawab, sekaligus membuatku merasa tua.”
“Nonsense. Kau tidak tua, Eric.”
“Cantik, aku sudah tiga puluh tahun. Perbedaan usia kita nyaris sepuluh tahun.”
“Terus mengapa? Aku menyukaimu apa adanya, kok.” Lisa berkata dengan nada yang defensif, membuat Eric tersenyum sayang.
“Aku juga menyukaimu apa adanya, Melisa.”
Lisa menoleh dan kali ini merke bertemu pandang. Bola mata berwarna hitam kelam bertemu bola mata berwarna biru langit yang hangat. Perlahan Eric mendekatkan wajahnya, mencium ujung hidung Lisa. Salah satu tangan yang awalnya memeluk tubuh Lisa, kini beranjak pelan, menyentuh rahang Lisa. Bibir Eric menyentuh lembut bibir Lisa, mengecup pelan dan mengecup sekali lagi. Sensasi lucu di dada Lisa membuncah tiap kali mendegar tarikan dan hembusan napas Eric. Matanya tertutup dan sekali lagi bibir Eric mengecup dan terus mengecup bibir Lisa, tanpa melakukan apa-apa lebih dari itu. Diam-diam Lisa berharap Eric menciumnya dengan panas seperti waktu itu, tapi kecupan seperti ini pun sudah sangat menyenangkan.
Saat mata Lisa terbuka lagi, wajah Eric sudah sedikit menjauh, meskipun tangannya masih memegang wajah Lisa dari samping. Memandang mata Eric dalam-dalam, Lisa menghembuskan napas panjang. “Agak panas ya di sini?”
Senyum lebar Eric membuat hati Lisa berdegup luar biasa kencang. Wajah Eric kembali mendekat dan saat hidungnya menyentuh hidung Lisa, mata Lisa menutup kembali.
***
Terbangun, Lisa berada di ranjangnya. Sendirian. Matanya masih terasa perih dan hidungnya masih tersumbat. Mimpi barusan sangat jelas. Bahkan terlalu jelas. Wangi tubuh Eric, dagunya yang sedikit tajam karena janggut yang belum dicukur serta bibirnya. Bibir Eric.
Oh, Eric. Aku merindukanmu.
Lagi-lagi air mata mengalir dan Lisa memeluk tubuhnya erat-erat. Untuk pertama kalinya Melisa Priyadi merasakan rindu yang membuat seluruh tubuhnya sakit. Apakah seperti ini rasanya patah hati yang sebenarnya?
***
Eric duduk dengan canggung.
Sebentar lagi dia datang, batinnya.
Di sebuah cafe yang sepi karena salju yang turun cukup deras membuat orang malas keluar rumah, Eric menunggu. Entah seperti apa dia sekarang. Jantung Eric berdegup, tapi bukan degup yang menyenangkan. Eric ingin semua ini segera berakhir. Closure, kami membutuhkan closure yang baik agar aku bisa melanjutkan hidup, ujar Eric dalam hati.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Menoleh ke belakang, Eric melihat dia.
Bethany Andrews, atau lebih tepatnya Bethany Kirk, cinta pertama Eric.
Wajah Beth masih sama, hanya sedikit dewasa. Tidak lagi tirus khas remaja SMA, tapi berisi dan segar. Rambut merah panjang yang selalu jadi kesukaan Eric tidak lagi terurai panjang hingga pinggang seperti dulu, tapi tergelung rapi di puncak kepala. Bethany tersenyum kecil saat melihat Eric berdiri menyambutnya. Mengulurkan satu lengannya, Beth merangkul leher Eric.
“Lama tidak berjumpa, Eric.”
Eric tidak membalas pelukan Beth sampai akhirnya Beth perlahan menjauh, masih dengan senyum di pipinya. Eric juga tidak balas tersenyum saat berkata, “Ya, sudah lama.”
Beth dan Eric duduk berhadapan, dan saat pelayan menanyakan pesanan, Eric hanya memesan secangkir kopi hitam dan Beth memesan teh lemon hangat.
“Dan kau sama sekali tidak berubah. Hanya semakin tinggi saja,” ujar Beth ringan. Eric tidak menjawab, pandangannya masih tajam ke arah Bethany. “Oh, berhenti menatapku seperti itu, Eric. Aku bukan musuhmu.”
Eric menarik napas dengan amarah. “Bagaimana bisa kau bukan musuhku? Kau meninggalkanku di malam pertunangan kita dan menikah dengan orang lain?”
“Aku sudah menjelaskan semuanya, Eric.”
“Lewat satu lembar surat!” Eric menggebrak meja, menarik perhatian sejumlah pelayan dan tamu di sekitar, yang segera mengalihkan pandangan mereka. “Kita bersama lebih dari lima tahun dan kau meninggalkanku dengan selembar surat?! Beth kau benar-benar keterlaluan!”
Bethany meletakkan sikunya di meja dan menelengkan kepala. “Aku minta maaf, Eric.”
Mengusap wajahnya dengan tidak sabar Eric melanjutkan. “Aku tidak percaya padamu. Keluargaku dan keluargamu sudah berkumpul, bahkan nenekku sangat bahagia. Tapi kau dengan tega meninggalkanku hanya demi seseorang yang baru kau kenal seminggu. Kita sudah bersahabat seumur hidup, Beth! Kau..”
“Itulah sebabnya, Eric,” potong Bethany. “Tidakkah kau sadar? Kita sudah berteman seumur hidup. Aku menyayangimu, buddy, tapi tidak sayang yang seperti itu.”
Eric terperangah. Mendengar kalimat simpel Bethany, dirinya merasa tertinju.
“Akui itu, Eric. Kau juga menyayangiku, tapi tidak ada ‘asmara’ dalam hubungan kita. Kita seperti sahabat yang berteman namun sesekali berciuman. Hell, kau pernah melihatku telanjang dan kau tidak melakukan apa-apa, bukan? Tidak merasakan apa-apa?” Suasana yang berat dengan amarah itu terpecah oleh pelayan yang membawakan pesanan mereka. Sesaat setelah pelayan itu pergi, Beth mengaduk pelan tehnya. “Kita hanya sudah terbiasa dengan satu sama lain, Eric. Hubungan kita stabil, tidak kurang dan tidak lebih. Jangan salah, aku sangat menyayangimu, tapi hanya sebagai sahabat. Sebagai saudaraku sendiri.”
Eric menerawang dan mengingat bagaimana hubungannya dengan Beth dulu. Mulai dari SMA hingga masa-masa kuliah. Saat mereka berciuman dan berhubungan tubuh.
“Eric, saat bersamaku dulu, apakah kau merasakan jungkir balik tak karuan saat aku menciummu? Apakah kau merasa pusing dan kepalamu berputar saat aku menyentuh tubuhmu?” Tanya Bethany lembut. “Karena jujur saja, aki tidak merasakan apa-apa. Tapi saat dengan Travis.. Rasanya aku bisa mengalahkan dunia. Aku bisa melakukan apa saja.”
Eric tertegun. Tentu dia menyayangi Beth, tapi sebagian besar yang bisa diingatnya adalah sakit hati saat Beth meninggalkannya. Meninggalkannya sendiri menghadiri kelas, memasak bersama, melakukan hal-hal yang biasa dilakukan bersama..
“Kau sudah sadar? Karena aku juga merindukanmu, Eric. Sesaat setelah aku pergi, aku rindu dengan ‘kita’. Rutinitas kita berdua, kebiasaan kita saat bersama, aku rindu semua itu. Tapi kebiasaan dan rutinitas tidaklah cukup untuk membangun pernikahan.”
“Dan dengan pria itu menurutmu sudah cukup?” Tanya Eric dengan nada yang sarkastik.
Beth tersenyum manis, senyum yang membuat Eric merasakan nostalgia. “Iya, lebih dari cukup. Mungkin hubungan kami tidak sempurna dan kami sering bertengkar, tapi aku mencintainya. See? That’s the key, Eric. My key. Aku mencintai Travis lebih dari siapapun di dunia ini.”
Tangan Beth menggenggam tangan Eric. Eric tersentak saat menyadari dirinya tidak merasakan apa-apa, tidak seperti saat Lisa menyentuh tubuhnya. “Aku tahu kau sudah menemukan cintamu, Heidi yang memberi tahu. Aku sudah bertemu Heidi kemarin, meskipun awalnya dia sangat amat tidak menyenangkan, well, anggap saja kini kami sudah berteman lagi.”
Eric tersenyum membayangkan adik perempuannya. Eric balas menggenggam tangan Beth. “Aku mengerti maksudmu, Beth. Aku mencintai seseorang, gadis ini membuatku jungkir balik, seperti katamu tadi. Aku hanya ingin kau tahu, maaf atas sikapku selama ini. Memutus hubungan denganmu tanpa memberimu kesempatan untuk menjelaskan.”
“Aku mengerti, Eric. Aku mengerti sekali. Aku yang seharusnya minta maaf, karena menyakiti perasaanmu. Meninggalkanmu tanpa penjelasan, kau pasti kebingungan. Maafkan aku,” ujar Beth pelan dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Eric merasa bebas. Ringan.
“Jadi, kutunggu kau di rumah? Orang tuaku mengajak kau dan Heidi berkumpul. Ajaklah kekasihmu, kalau kau mau.” Beth tersenyum dan menyesap teh yang sudah mulai dingin, tanpa melepaskan tangannya dari tangan Eric.
“Iya tentu saja,” jawab Eric dengan senyum kecil. Meskipun dalam hati dia tahu banyak yang harus dia jelaskan pada Lisa. Eric merasa tersiksa saat Beth meninggalkannya tanpa penjelasan yang berarti. Bukankah yang dilakukan Eric saat ini sama saja seperti yang Beth lakukan dulu? Menjauhi Lisa tanpa penjelasan? Eric menarik napas panjang.
Eric melanjutkan obrolan dengan Beth sambil sesekali tertawa pelan, apalagi setelah beban di pundaknya sudah lama hilang.
Namun tanpa disadari Eric, sepasang mata menatap dengan penuh amarah dari kejauhan.
comment ahhh…
euhmmm…kak tulisannya bgus kok tpi kok aku ngerasa ada yg kurang ya dri cerita nya kurang greget gtuhhh…heheh…tpi ttep bgus kok ;-)
dri kmren” aku bolak-balik bka blog ini ehhh…bru mncul skarang??
pnasaran bngt sma endingnya…smoga mkin k’sana tulisan kakak mkin bgus ya kak…biar tmbah seru bacanya…semangat ya kak buat lnjut nulis :-)
kira” kpan nih d’post chapter slanjutnya??
Ahahaha, memang baru di-upload barusan, kok. Jam 3 tadi kalo nggak salah.
Insya Allah update lagi secepatnya. Muihihi. :)
Kurang greget? Apa jangan-jangan kecepetan jalan ceritanya? Aku pengin nggak banyak-banyak sih, makanya berusaha nggak bertele-tele. Nanti deh aku perbaiki lagi. Makasih, yak! *peyuk*
wow.. iseng reload web ini, ternyata udh upload chapter baru. tenkyuu sist. semoga part selanjutnya bisa lebih cepat diupload hihihi. oia. aku suka dengan pertemuan antara si dosen dgn mantannya (gosh.. aku bahkan langsung lupa nama tokohnya tapi malas scroll ke atas *abaikan). yaaa setidaknya si dosen dapat berdamai dgn masa lalunya.
ayo siisst. lanjutkan. aduh, kentang banget itu.. geregetan. bikin penasaran :))
..dan nggak tahu kenapa setiap kali baca kata ‘kentang’ pasti ngikik sendiri. Hihihi.
ASAP deh chapter 15-nya. Nggak lama-lama kok, paling lambat weekend minggu depan. Yang pasti sih *uhuk* sudah mau selesai cerita Eric sama Lisa. Mau request nggak, setelah ini ceritanya siapa yang mau di-post? Mantannya Eric atau cerita cintanya Greg?
what? ada opsi. hmm.. berarti udah ada dua draft dong kkkkkkk. hmm… kalo aku prefer ke greg. yaaah.. belum siap aja lihat eric jadi figuran ato orang ketiga klo ceritanya nanti ttg mantannya eric. lagipula aku juga suka sama greg di sini. baik bangeeet. yeah aga2 player itu mah akibat wajah ganteng kali yaaa :3
Iya, draft-nya sudah lumayan panjang dan macem-macem, cuman ya gitu masih mandek di tengah-tengah, belum diselesaiin. Abis, seringnya dapet ide tapi nggak jelas ending-nya gimana. :)
Sip, nanti cerita Greg aku siapin, ya. Makasih lo sudah rajin mampir sini. Aku seneng, deh. *peluk*
kak klo yg AIY udh tmat lnjut critanya abang greg ya?? kyaknya bkal seru tuhhh…hehehe…:-D
Iya, Insya Allah. Tapi kalo mau request yg lain ya nggak apa-apa. Kak Nita maunya cerita siapa? :)
Sis..chap selanjutnya janji ya jgn lama!penasaran bangettt…jgn lupa yg romantis2nya di banyakin hehehe..
Beres! Paling lambat weekend besok, deh. Stay tune, yak! *halah*
Terima kasih! :)
jeng jeng jeeeng siapakah yg menatap penuh amarah??? *mata melotot* *dikeplak author*
ditunggu lanjutannya thor heheee :D keep writing ya!
aku mau cerita nya jess dong, pasti seru :D
Ahahahhaha, pokoknya ditunggu, ya! Sudah mau tamat, kok. :))
Woh, ada yang minta ceritanya Jess! Sip, saya masukkan ke daftar request, nih. Makasih! *jilat-jilat*
Aaaa itu greg ya yg liatin eric dengan mantannya??
Eeh kelamaan buka jadi ketinggalan haha.
Tapi msh tetap berasa hot from the open kok ckckck.
Dan..siapa yg menatap dengan marah??hayooo manda cepet donk posting nya!!kalu kelamaan eike bisa tandukan neh hehehe
Belum dipost yah??? :/
Haduch…kpn nich next chapter dipost..
udh g nahan…
udah sebulan nich…
oy tiap hari q absen diblog ni hanya bt nunggu next chapternya…
please thor jng kelamaan
Hadeuuhhh..ternyata nunggu tuchh cape jg yachh :( haruskah q berpaling ke lain hati???