I was checking out my old writings; stuff I wrote years ago. And let me tell you, I’m both mortified and proud at myself. Some of the those writings are so good it’s a shame I haven’t post it anywhere else. But the rest? So darn cheesy I can’t even. ><
I didn’t grew up in a complete family. Why I say that because for as long as I can remember, it was just us; my mom, my older sister and me. That’s it. There was a time when I keep questioning why, hating the fact that we’re not whole, and loathing my father for abandoning us. But as we grow older, become an adult, everything fell into place and those questions, those hatred, faded to the background. Questions unanswered, hatred slowly becomes ignorance, and we’re still alive.
That’s why when I found this.. old writing of mine, it’s kind of funny because I was so, let’s say I was a deep thinker. And full of this passion to say what I want to say. And with that I come to this realization: I’m a bitter 23 year old woman. It’s cringy, I know, but at the same time I’m okay with it because it is the truth. I’m bitter, I tend to expect that the worst thing always happens so I can protect myself the firsthand.
It’s sweet to see my 19 year old self trying to break free.
Malang, 30 Oktober 2012
Halo, Ma. Apa kabar?
Hahaha, lucu rasanya saat aku bertanya, “apa kabar?” sama Mama. Wong setiap hari ya bertemu. Tapi tetap saja, apa kabar, Ma? Aku baik. Sehat sekali, malah. Semoga kesehatanku ini juga tertular ya, Mamaku sayang. :)
Jadi.. Aku bingung ingin mulai dari mana. Sesaat sebelum menulis surat ini, sudah terbayang semua yang ingin aku ceritakan pada Mama. Hari-hariku, kesukaanku, hal-hal yang aku benci untuk kulakukan, semua sudah terpatri dan siap kubagi. Tapi, kok aku lupa ya, Ma? Ah, sudahlah.
Ma, usiaku sudah sembilan belas tahun, loh. Tidak terasa, ya. Rasanya baru kemarin aku menangis di depan pintu mobil kita karena tidak mau masuk sekolah dan berharap Mama membawaku kembali pulang ke rumah. Mama ingat? Aku ingat sekali, sampai rasanya malu sendiri.
Ah, kadang aku rindu masa-masa itu, Ma. Masa dimana Mama mengantarku ke sekolah setiap pagi dan setiap siang menjemputku lagi. Masa dimana aku tidak perlu khawatir memikirkan Mama lelah mencari uang seperti sekarang. Ingin rasanya aku memberikan kembali masa-masa itu pada Mama, Ma. Sungguh.
Ma, sembilan belas tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk menjadi saksi. Untuk mengerti. Bahwa hidup kita bukanlah hidup yang mudah. Banyak yang kita lalui kan, Ma? Saat Papa meninggalkan kita demi hidupnya, aku ingat tidak ada satu tetespun air mata yang mengalir di pipi Mama. Tapi air mata Mama malah mengalir deras bak hujan di sore hari saat Mama lihat aku dan Mbak menangisi Mama. Ma, aku takut. Membayangkan Mama tenggelam dalam laut hati Mama sendiri, aku takut sekali.
Aku berjanji, akan kukembalikan kebahagiaan Mama, Ma. Bagaimanapun caranya. Pasti akan kukembalikan. Akan kukembalikan kebahagiaan Mama seperti saat Mama sibuk memikirkan menu makan siang kita. Akan kukembalikan kebahagiaan Mama seperti saat Mama bingung memilih tas cantik mana yang ingin Mama miliki. Akan kukembalikan kebahagiaan Mama seperti saat kita bergelung di kasur, tertawa dan berpelukan. Janji padaku ya, Ma, bahwa meskipun akan memakan waktu sedikit lama, Mama akan menungguku.
Terima kasih banyak karena kau mau menyayangiku dan Mbak begini besarnya. Walaupun aku tahu kalau kasih sayang Mama memang sudah ada jauh sebelum Mama bertemu kami. You’re just awesome like that. Padahal kami sering sekali membuat Mama menelan kembali amarah yang sudah ada di ujung lidah. Maaf ya, Ma.
Sekedar informasi saja, Ma, Mama adalah wanita terwangi yang pernah aku kenal. Aku bisa memeluk Mama seharian, mencium wangi parfum Mama, Ma.
Ma, jangan lupa bahwa aku dan Mbak adalah milik Mama. Kami akan berdiri di sisi Mama, berjalan mengikuti Mama dan kelak akan menuntun Mama. Jadi jangan ragu untuk meraih tangan kami, karena, demi Tuhan yang Maha Baik, kami tidak akan membiarkan Mama jatuh lagi. Kami bukan lagi anak yang perlu Mama rawat, Ma. Sekarang giliran kami yang akan merawat Mama. Maaf kami membiarkan Mama begitu lama menggapai-gapai mencari pegangan, ya.
Semoga saat Mama membaca surat ini, semua sudah jauh lebih baik.
Kecup,
Yang kini berusia sembilan belas tahun.
Leave a Reply